SURABAYA – Menyusul peringkatnya yang naik dalam World University Ranking, Universitas Airlangga menggalakkan kuliah tamu yang mengundang akademisi dari dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah research lecture yang digelar oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair.
Research lecture tersebut bertajuk “Voice of the Voiceless: Gender, Class, and Social Inclusion in East Asia”. Dihelat pada Selasa (18/9/2022), gelaran itu dihadiri oleh Naomi Chi, Associate Professor dari Hokkaido University.
Dalam kesempatan itu, Naomi berbicara mengenai gender dan masyarakat kelas bawah di Korea Selatan dan Jepang. Ia menerangkan bahwa masyarakat kelas bawah adalah orang yang berada di bawah garis kemiskinan, bergantung pada bantuan negara, dan tidak bekerja penuh waktu.
“Salah satu cirinya adalah mereka tidak bisa lepas dari kemiskinan, ” tutur pengamat minoritas seksual tersebut. Naomi mencontohkan masyarakat kelas bawah dengan manula, janda, pemuda miskin, dan pekerja migran. Juga termasuk tunawisma, pecandu narkoba, maupun orang dengan gangguan jiwa.
Masalah kemiskinan dan adanya masyarakat kelas bawah juga merambah kawasan Asia Timur. Meskipun ekonomi Jepang dan Korea Selatan tergolong kuat, permasalahan mengenai adanya masyarakat kelas bawah masih sulit dihilangkan.
“Di Jepang, satu dari tujuh anak hidup di bawah garis kemiskinan, ” jelas Naomi.
Baca juga:
UB dan Densus 88 Deklarasi Anti Radikalisme
|
Kelas pekerja di Jepang juga didominasi oleh perempuan. Akan tetapi, perempuan-perempuan tersebut tidak bekerja penuh waktu. “(Jumlah, red) pekerja paruh waktu naik, ” terangnya.
Permasalahan ini menimbulkan problematika baru, yakni permasalahan perumahan. Mahalnya harga rumah di Jepang membuat masyarakat kelas bawah harus memutar otak untuk memperoleh tempat tinggal.
Hasilnya, banyak kaum muda di Jepang yang hidup di internet café. “Pengguna internet café adalah mereka yang tidak punya pekerjaan tetap, ” tutur Naomi. Kaum kelas bawah yang tidak hidup di internet café, hidup di rumah-rumah semi permanen di sepanjang sungai atau rel kereta.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan keadaan di Korea Utara, di mana satu dari sepuluh anak di sana hidup di bawah garis kemiskinan. Masyarakat kelas bawah banyak yang hidup dalam cubicle, ruangan kecil semacam indekos.
“(Cubicle, red) hanya berisi dipan sederhana, meja, kulkas, dan dapur kecil, ” jelas perempuan kelahiran Vancouver Kanada tersebut. Karenanya, tidak ada tempat untuk menaruh perabot maupun barang-barang pribadi. Terdapat pula rumah semipermanen ilegal yang disebut dengan Jjokbang. Rumah-rumah tersebut dibangun di sepanjang rel kereta.
Naomi menyimpulkan bahwa permasalahan-permasalahan tersebut merupakan kecacatan kapitalisme, mitos pertumbuhan ekonomi, dan imbas dari kebijakan neoliberalistik.
Penulis: Ghulam Phasa Pambayung
Editor: Khefti Al Mawalia